SEBAGAI Pelaku Budaya, saya melihat ada sisi keunikan dari salah
satu kearifan lokal dalam tradisi masyarakat Bangka, yaitu “nganggung”. Tradisi nganggung adalah salah satu kebiasaan yang lahir di masyarakat Melayu Bangka Belitung, khususnya di Pulau Bangka, kebiasaan ini akhirnya menjadi sebuah tradisi yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. Nganggung merupakan adat membawa makanan dari masing-masing rumah penduduk menuju ke satu tempat pertemuan besar, biasanya berupa Masjid, Surau, Langgar, atau Lapangan pada waktu-waktu tertentu di dalam Agama Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Nisfu Sya'ban, Muharram, serta selepas shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Dalam tradisi nganggung ada sebuah benda yang menjadi ciri khas dalam pelaksanaan ritual nganggung itu sendiri, yaitu sebuah benda yang berfungsi sebagai penutup makanan yang tersusun diatas dulang, yaitu wadah kuningan maupun seng yang digunakan untuk mengisi makanan, penutup dulang ini terbuat dari daun pandan hutan, yang dirangkai dan dibentuk
mendekati setengah lingkaran dengan pemberian warna yang menonjol, dia adalah Tudung Dulang
atau lebih dikenal dengan sebutan Tudung Saji.
Lumrahnya ketika diatas meja kita melihat ada “Tudung Saji” maka akan muncul pertanyaan, ada apa dalam tudung saji itu? Dan kita tidak akan tahu sebelum kita membukanya, seperti yang akan diceritakan disini, kita tidak akan tahu jawabannya, sebelum kita membacanya sampai akhir dan bisa jadi setelah membacanya, anda akan terkejut, terharu, bahkan menciptakan rasa bangga.
Yang akan saya jelaskan pada
tulisan ini, tudong dulang/ tudung saji memiliki filosofi tinggi bagi kehidupan bermasyarakat, yaitu salah satu bukti tingginya toleransi antar suku dan umat beragama, dimana sejarah masa lalunya, pembuat Tudong Dulang/Tudung Saji adalah oleh warga Bangka yang berketurunan Tionghoa, sedangkan yang menggunakan Tudong Dulang/ Tudung Saji adalah orang Islam yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Melayu.
Berbicara tentang Filosofi Tudong Dulang/ Tudung Saji sangat dalam dan jika diresapi dari segi intelektual
dan spiritual, akan menghasilkan sebuah efek yang luar
biasa. Mari kita bahas mulai dari proses pembuatannya, Tudong Dulang ini cukup rumit dan memakan waktu, dibutuhkan juga ketelitian dan kesabaran, ada pengetahuan tentang teknik dan pola, dan terakhir yang juga dibutuhkan dalam pengerjaannya adalah kesabaran.
Akan berbanding terbalik dengan pemahaman orang Bangka kebanyakan tentang hidup "Dak Kawa Nyusah", yang sudah mengalami pergeseran pengertian negatif menjadi “Pemalas”. maka muncul pertanyaan apakah Nenek Moyang saya pemalas? jawabnya tentu tidak, karena “Nenek Moyang adalah Orang Pelaut”, yang mengandung nilai-nilai pesan moral dan mengekspresikan bahwa orang Bangka adalah bangsa yang terbiasa mengarungi samudera nan luas, dengan kata lain bahwa orang Bangka adalah bangsa yang memiliki dan menguasai pengetahuan tentang kemaritiman (pintar dan tangguh).
Jika ada pertanyaan siapa sich Nenek Moyang yang merupakan Orang tertua di Pulau Bangka? jawabannya adalah Orang Mapur, yang diduga merupakan suku tertua yang tinggal di Pulau Bangka. Walaupun soal kapan Suku Mapur dan dari mana asalnya masih spekulatif, diduga mereka pertama kali mendiami Air Abik yang lokasinya di hulu Sungai Mapur, menurut legenda, nenek moyang Orang Mapur berasal dari Majapahit. Konon, ada seorang bangsawan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, yang menolak menjadi Islam. Sekitar abad ke-16 penolakan itu ditindaklanjuti dengan melarikan diri lewat laut dan terdampar di Tanjung Tuing.
Ada juga yang percaya bahwa mereka sesungguhnya adalah keturunan orang-orang yang berasal dari Vietnam, alkisah, ada sebuah kapal yang berlayar dari Vietnam, kapal itu rusak lalu terdampar di Pantai Tanjung Tuing, semua penumpang tewas, kecuali dua lelaki dan satu perempuan, ketiga orang ini lalu mendirikan pemukiman di daerah Gunung Pelawan.
Bercocok tanam, berburu dan berternak merupakan profesi yang paling banyak dilakoni Orang Mapur, mereka menanam padi dengan tanaman selingan jagung, ubi kayu dan cabai. Orang Mapur di pedalaman masih menerapkan sistem ladang berpindah dengan menggunakan teknologi sederhana (peralatan yang digunakan parang dan beliung), hal tersebut mungkin karena lahannya luas, meski suka berpindah-pindah, mereka akan kembali ke ladang yang pernah mereka tanami kira-kira 3 tahun kemudian.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Bangka itu tidak malas, salah satu contoh lain diera sekarang yaitu rutinitas Petani Lada yang setelah sholat subuh langsung “ngaret” dan setelah itu baru ke kebun ladanya, sesuai yang kita ketahui ngaret atau ngerat pohon karet bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, dibutuhkan kesabaran terutama disaat proses jalan mundur, melukai pohon karet tidak boleh terlalu dalam dan terlalu tebal, agar tidak melukai batang dan kulit kayu lekas habis.
Menurut saya hidup Dak Kawa Nyusah itu adalah lebih kepada kehidupan yang bersahaja, yaitu punya tempat tinggal untuk berteduh, diberikan nikmat sehat dan makanan yang mencukupi. Dampak dari Dak Kawa Nyusah sendiri adalah bagaimana alam digunakan sesuai dengan kebutuhan dan termanfaatkan dengan optimal, tidak boleh serakah dalam menggarap lahan. Bagaimana menjaga Sungai tetap bening dan ikan melimpah, sehingga alam terjaga kelestariannya.
Ketika nilai-nilai kearifan lokal “Dak Kawa Nyusah” berubah menjadi “Pemalas”, orang akhirnya berbondong-bondong merusak alam dengan alasan klasik demi memenuhi isi perut, hutan dibabat untuk pola perkebunan yang berpindah-pindah, merusak Sungai untuk dikuras isinya, hutan-hutan ditambang, dan sebagainya.
Berhentilah menunjuk dan menuduh masyarakat Bangka “Pemalas” dengan ungkapan “Dak Kawa Nyusah”, jika selama ini masyarakat tidak mau perduli pada apa yang pemerintah lakukan, yang dianggap program prioritas sekalipun, mungkin kitalah yang tidak kreatif dalam berinovasi atau “Dak Kawa Nyusah”, dalam melakukan pendekatan dan memahami masyarakat. Menggali budaya dan mendalami kondisi masyarakat lalu merumuskan rekayasa sosial yang lebih aplikatif. Sehingga program-program pemerintah lebih dapat diterima.
Sering terlontar kalimat "Susah Bangka akan maju selama bermental Dak Kawa Nyusah!”, akan tetapi Buktinya banyak temen-temen saya putra/putri daerah Bangka yang sukses di perantauan dan mampu bersaing, terus pertaanyaannya memangnya tidak ada orang Bangka yang sukses di kampungnya, jawaban saya : banyak donk!..... salah satunya Pak Abdul Gani Aup pemilik Hotel PAI, Thomas Japri pengelola TJ Mart, Ridwan Hasan Pengelola BBG dan masih banyak lagi lainnya, masyarakat Bangka itu sebenarnya siap untuk menerima hal-hal baru yang lebih maju, mereka bisa bekerjasama, asal jangan ada yang serakah tanpa mau berbagi peran.
Dak Kawa Nyusah bagi saya adalah sebuah etika budaya dimana individu atau kelompok yang tidak mau untuk melakukan hal-hal yang negatif, salah satu contoh, ketika harga BBM naik, masyarakat Bangka tidak mau demo, karena mereka sudah terbiasa dalam pola hidup bersahaja dan mensyukuri apa saja yang diterimanya, anak-anak sekolah tidak pernah tawuran, karena mereka tidak mau melakukan hal konyol yang menurut mereka gak ada dampak istimewa yang mereka peroleh, pasti akan keluar kalimat Dak Kawa Nyusah, Yang terpenting istilah Dak Kawa Nyusah adalah bukan merupakan kebiasaan buruk atau aib, ia adalah bagian dari kearifan lokal kita, merupakan etika kebudayaan bermasyarakat yaitu Pola Hidup Sederhana dan bersahaja; selalu bersyukur ketika diberikan nikmat kesehatan, memiliki tempat tinggal untuk berteduh, dan makan cukup.....dengan demikian mereka dapat beraktifitas dan melakukan hal-hal yang positif, jauh dari penyakit hati.
Selanjutnya, mari kita bahas tentang FILOSOFI GAMBAR
dan BENTUK TUDONG DULANG/ TUDUNG SAJI KHAS BANGKA, Menurut saya sebagai Bunda Tudung Saji/ Bik Tudong Dulang, bentuk dan gambar yang
menyerupai prisai di zaman kerajaan melambangkan bahwa Tudung Saji memiliki
fungsi pelindung, lebih tepatnya berguna melindungi makanan dari kotoran, debu
dan binatang (lalat).
Dari
“filosofi tudung saji” kita bisa belajar keberadaan pelindung untuk menutupi
makanan yang akan dihidangkan agar terhindar dari lalat, debu, kotoran, maupun
gangguan lainnya, hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa jika keragaman
ini dapat kita kemas dengan keharmonisan, maka tidak akan mampu segala yang
kotor dan buruk menganggu “kejayaan dan kemakmuran” yang kita miliki, dan
kelaknya bisa dinikmati Bersama sampai ke anak cucu kita.
FILOSOFI WARNA
TUDUNG SAJI KHAS BANGKA BELITUNG, Tudong Dulang/ Tudung saji sebagai alat
penutup dulang yang dibawa dari rumah ke Masjid atau tempat kegiatan masyarakat lainnya ternyata memiliki sisi unik dari pewarnaan. Alat penutup makanan yang
terbuat dari daun pandan dan dihiasi dengan warna merah, kuning dan hijau ini,
jika ditela’ah secara filosofinya, mengandung makna : yang pertama warna Kuning,
melambangkan sebuah kejayaan ; yang kedua warna
Hijau, melambangkan kemakmuran dan yang ketiga warna Merah, melambangkan
keberanian.
3 (tiga)
warna atau simbol traffic light ini juga bisa kita artikan bahwa merah bermakna
berhenti untuk memberikan jalan atau ruang kemudahan kepada hal-hal yang dapat merugikan orang lain, hijau
untuk terus berjalan dalam hal kebaikan dan kebenaran, terakhir warna kuning, adalah tanda harus berhati-hati, siap siaga atau
waspada.
Jika
dilihat dari sisi keberagaman masyarakat Bangka Belitung yang dikenal sangat
pluralis dan berperilaku dinamis. Maka tiga warna ini, bisa melambangkan ciri
atau warna suku, Merah bisa kita artikan warna khas masyarakat Tionghoa, Hijau
warna dari masyarakat Melayu dan kuning adalah masyarakat dari etnis
lain (pendatang).
Tudong Dulang/ Tudung
Saji bukan
sekedar sebuah benda tanpa makna, ia adalah benda kearifan lokal yang
diwariskan oleh para orangtua kita terdahulu. Penuh nilai, penuh makna bagi
orang-orang yang memang berpikir dan cinta akan budaya leluhur.
Budaya
atau tradisi para leluhur ini bukan sekedar budaya tanpa makna, tidak juga
sekedar tradisi tanpa arti, tapi ia memiliki filosofi kehidupan yang luar biasa
bagi kita generasi zaman now (sekarang ini).
Menjaga
budaya atau tradisi para orangtua bagian dari bentuk penghargaan kita kepada
leluhur, menyelami makna yang terkandung didalamnya dan mengambil sisi positif
adalah bentuk kecerdasaan kita dalam mengelola kehidupan yang beraneka ragam.
Tudong Dulang/ Tudung
Saji memberikan
makna bahwa Kepualuan Bangka Belitung adalah negeri kita bersama, milik semua
masyarakat multi etnis dan agama, bukan milik satu golongan atau dikuasai oleh
satu kelompok. Mayoritas tidak boleh arogan dan minoritas harus tahu diri.
Membicarakan perbedaan tidak akan pernah usai hingga hayat lepas dari badan,
tidak perlu bicara terlalu jauh, proses
kita lahir ke dunia ini pun karena hasil dari perbedaan.
Karenanya
perbedaan adalah peluang dan rahmat yang sangat luar biasa jika disinergikan
untuk membangun negeri ini, tanpa perbedaan maka tidak akan pernah lahir
kebersamaan yang kokoh.
Oleh
sebab itu jika ada manusia yang masih sibuk mengurusi persoalan suku, warna
kulit, kedaerahan, etnis bahkan agama dalam membangun negeri ini, bisa jadi
mereka telah menghina Tuhan nya, Tuhan yang “sengaja” menciptakan perbedaan
tersebut guna menumbuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan serta rasa syukur kita
sebagai hamba.
Demikian yang dapat saya bagikan sementara ini, dari beragam sumber, informasinya akan terus bertambah seiring bertambahnya sumber-sumber info yang didapat dikemudian hari, dan saya tidak akan berhenti untuk terus berburu info, ke para orang tua atau sesepuh yang masih bisa saya tanyai tentang Tudong Dulang/ Tudung Saji.